Dulu, setiap musim beranjak dan rintik embun mulai berguguran dari ranting-ranting cuaca, kunang-kunang selalu bermunculan di desa ini "Menyambut kepulangan hujan," begitulah aku melukiskannya pada salah satu puisiku. Aku selalu percaya, kunang-kunang bukanlah penjelmaan dari kuku orang mati seperti yang diceritakan turun temurun, tetapi mata yang berduka. Berkerumun di padang bambu, sebuah tempat yang senantiasa belia dalam ingatanku, cahayanya menciptakan garis tipis yang menyerupai air mata.