Ahmad Tohari
- Lingkar Tanah Lingkar Air
"Kamu yakin suasana sudah aman?" aku bertanya. "Ah, kamu. Bagi kita suasana tak pernah aman." "Di mana Jun? Kulihat tadi malam dia kena." "Memang. Tetapi kukira dia bisa lari. Peluru menembus kulit pahanya." "Lalu di mana dia?" Kiram menggeleng.
Ahmad Tohari
- Lingkar Tanah Lingkar Air
"Kamu mau mencari Kang Suyud?" Aku mengagguk. Kiram mendesah. Tanpa banyak kata terucap kami sepakat. Mungkin juga karena aku maupun Kiram punya jalan pikiran yang sama. Setelah kami bisa menyelamatkan diri, hal pertama yang harus kami lakukan adalah mencari Kang Suyud. Orang tua itu terpaksa kami tinggalkan sekalipun kami tahu dia sedang sakit. Kang Suyud kami sembunyikan dalam semak di balik batu besar, karena kami tak mungkin bertempur sambil memapah dia yang sedang sakit dan sudah lemah.
Ahmad Tohari
- Lingkar Tanah Lingkar Air
Beberapa daun tua luruh, terlunta di antara cabang-cabang yang rapat, kemudian melayang jatuh ke tanah. Sepi juga sedikit terusik oleh cicit burung-burung kecil dari arah rumpun belukar dan gelagah di lereng jurang.
Ahmad Tohari
- Lingkar Tanah Lingkar Air
Kelengangan hanya sedikit terganggu oleh suara langkahku sendiri, yang sering tak terhindarkan jatuh di atas daun dan ranting kering; atau, oleh angin pagi musim kemarau yang menyapu kelebatan hutan dan menimbulkan desah jutaan daun yang saling bergesek. Suaranya adalah desau seluruh bagian hutan, yang kadang terasa menyeramkan.
Ahmad Tohari
- Lingkar Tanah Lingkar Air
Sekelilingku tetap remang karena sinar matahari hampir tak mampu menembus kelebatan hutan. Hanya pada bagian-bagian tertentu tampak serpih cahaya jatuh lurus dan membuat pendar pada daun-daun kering yang berserakan di tanah. Selebihnya adalah teduh atau bahkan remang.
Ahmad Tohari
- Lingkar Tanah Lingkar Air
Aku berjalan sendiri, menanjak bukit yang tertutup kelebatan hutan jati, menyusuri jalan tikus yang biasa dilewati para pencuri kayu. Segala indraku siap menangkap setiap suara atau gerakan yang paling halus sekalipun. Bahkan perasaanku sudah sangat terbiasa mengenali datangnya suasana yang berbahaya.
Muhammad Nasir Age
- Bunga Kebun Tanjong
Aku bertanam bunga ganja hanya karena ingin punya penghasilan yang bisa membahagiakanmu. Sebagai laki-laki, aku gagal karena tak bisa memberimu keturunan. Biarlah kau punya anak dari laki-laki selingkuhanmu. Aku ingin membahagiakanmu dengan cara yang lain.
Muhammad Nasir Age
- Bunga Kebun Tanjong
Entah ke mana dan berapa lama beliau pergi. Karena besok pagi-pagi benar, saya melihat Ayah keluar kamar bersama Ibu. Seperti biasa mereka tampak mesra. Seolah tak terjadi apa-apa. Mereka tak ingin anaknya tahu ada bangkai di antara mereka. Mereka pasti mengira saya tak mendengar pertengkaran semalam.
Muhammad Nasir Age
- Bunga Kebun Tanjong
Setahu saya, hubungan Ibu dengan Ayah semasa hidupnya tidak akur-akur amat. Tersulut persoalan kecil saja, Ibu pasti akan merepeti Ayah. Misalnya, bila Ayah telat membawa pulang belanjaan. Kebiasaan di kampung kami, yang belanja ke pasar bukanlah kaum Ibu. Para suami, seusai bekerja harus singgah ke pasar untuk membeli bekal rumah tangga.
Muhammad Nasir Age
- Bunga Kebun Tanjong
Sebagai pensiunan guru PMP di sekolah dasar kampung kami, Ibu cukup pandai bersilat lidah bila ditanya tentang hubungannya dengan Ayah. Ibu selalu punya jawaban yang masuk akal untuk berdalih. Masalahnya, beberapa penduduk malah mencap Ibu telah hilang akal sejak kematian Ayah. Saking cintanya pada almarhum, Ibu melampiaskannya dengan mengantar bunga.
Nafi'ah Al-Ma'rab
- Tandan Sawit
Dia tak pernah mengeluh. Lihatlah kesabaran menghiasi sorot matanya. Dulu sewaktu kecil masih diingatnya nasihat Tuk Dullah-kalau tak salah, ustad yang sangat dihormatinya. Ikhlas sajalah dalam hidup, ujungnya nanti kau akan bahagia. Sudah lama, itu nasihat yang sudah lama. Tapi pemuda itu memang setia.
Ayu Gendis
- Warisan (Cerita dari Dieng)
Rambut Larasati memang berbeda dengan anak lain. Keriting dengan lencir gimbal di sana-sini. Itu pula yang membuat ibunya selalu berhati-hati ketika menyisiri atau membasuh kepalanya. Laras sendiri tak pernah peduli dengan lencir gimbalnya, yang kata neneknya tak boleh sembarangan dipotong. "Harus dengan upacara khusus, karena ia bukan keturunan sembarangan," begitu ujar neneknya berulang kali.
Ayu Gendis
- Warisan (Cerita dari Dieng)
Hampir tiga dekade lalu Larasati diarak keliling desa. Usianya belum genap empat tahun ketika ia mengenal kata "ruwat." Tiap kali orang melihat lencir rambutnya yang lengket menjadi satu di ujung ubun-ubunnya, ia mendengar kata itu. "Anak itu perlu diruwat. Lihat rambutnya."
Halimah Munawir
- The Sinden
Lukisan rasa lelah telah tertoreh di wajah Dingklik Waranggana. Rambutnya kusut sekusut hatinya. Selama dalam perjalanan, Dingklik Waranggana tak dapat membuka mulutnya. Jarok hanya dapat diam. Suasana sunyi senyap. Masing-masing bergelut dengan pikirannya. Sampai mobil itu menggelinding masuk gerbang Desa Banyumas, mereka tetap dalam diam.
Halimah Munawir
- The Sinden
Setelah riasan wajah dianggap sempurna, Dingklik Waranggana mulai melilitkan kain di tubuhnya, memasang bekung, beha, dan terakhir kelambi burkat merah menyala sesuai dengan gincu yang melekat di bibir. Rambutnya yang panjang digulung-gulung kemudian disampirkan ke bahu kanan, menjuntai ke depan. Dari atas gulungan sampai bawah dihias melati segar yang ia petik dari pohonnya, di samping masjid.
Rafael Yanuar
- Arwah Kunang-Kunang
Dulu, setiap musim beranjak dan rintik embun mulai berguguran dari ranting-ranting cuaca, kunang-kunang selalu bermunculan di desa ini "Menyambut kepulangan hujan," begitulah aku melukiskannya pada salah satu puisiku. Aku selalu percaya, kunang-kunang bukanlah penjelmaan dari kuku orang mati seperti yang diceritakan turun temurun, tetapi mata yang berduka. Berkerumun di padang bambu, sebuah tempat yang senantiasa belia dalam ingatanku, cahayanya menciptakan garis tipis yang menyerupai air mata.
Naga Pamungkas
- Pendekar Mabuk
Sekelebat bayangan melintasi hutan di kaki bukit. Orang mengenal bukit itu dengan nama Bukit Mata Langit. Tak ada orang yang berani melintasi hutan di Bukit Mata Langit itu, karena mereka takut terperosok ke sebuah lubang yang amat dalam. Lubang itu tertutup oleh tanaman rambat sehingga tidak mudah diketahui oleh siapa pun. Tanaman rambat yang menutup rapat lubang tersebut seolah-olah berguna sebagai tanaman penjebak.
Sukarni
- Tetanggaku Bensin Pertamax Plus
Jika diibaratkan larutan, engkau adalah larutan elektrolit kuat. Daya hantar listrikmu sangat baik. Jika diuji pakai alat uji larutan, engkau menghasilkan nyala lampu terang. Seterang kulit tubuhmu, secerah pipi chabymu. Semerah bibir tipismu. Seindah jari-jemarimu, membuatku terkesima. Sorot cahaya matamu berkilau, puncak hidungmu memukau. Kau menyimpan daya tarik yang luar biasa. Siapa yang tak terpana oleh gemerlap lenggak-lenggok gemulaimu, halus tutur katamu, dan lemah lembut budi bahasamu?
Muhammad Haikal
- Ketika Doa Ibu Menembus Langit
Lalu Yunus memasuki kamar Ibunya. Terlihat Ibunya sedang duduk menangis setelah menunaikan Shalat Dzuhur. Dan Yunus ikut duduk di samping Ibunya. "Bu, kenapa nangis?" .".." Ibu Aisyah hanya diam sembari membasuh air matanya. "Ada makanan gak? Aku belum makan nih." Tanya Yunus. "Sabar ya nak, abis ini... Ibu mau jual lemari kecil itu dulu untuk kita makan." Jelas Ibu Aisyah.
Muhammad Haikal
- Ketika Doa Ibu Menembus Langit
Siang itu, terdengar naungan suara Adzan Dzuhur. Terlihat sebuah rumah yang bangunannya tidak terlalu besar. Seorang bocah yang penampilannya berantakan dengan pakaian sekolah, memasuki rumah itu. Dia adalah Yunus, bocah berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku SMP.